1.
Deskripsi Hasil Observasi
Observasi
dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2014 di SMP Pelita Bandung kelas 8 A.
Kelas di mulai pada jam 08.20 WIB dengan materi “ Teks Biografi”. Sebelum pemberian
materi, guru menyilakan siswa untuk berdoa. Lalu, agar siswa tidak lupa dengan
materi sebelumnya, guru mengulas kembali materi minggu lalu, yakni Teks Fabel.
Pengulasan selesai,
kemudian guru masuk kepada materi yang akan disampaikan hari ini, yakni “Teks
Biografi”. Sesuai dengan kurikulum 2013 yang menuntut keaktifan dan kekreatifan
siswa, sebelum guru memberi materi, guru memberikan pertanyaan mengenai Teks
Biografi. Guru memberi kesempatan pada siswa laki-laki untuk aktif menjawab pertanyaan,
sebab sejak awal kebanyakan yang aktif adalah siswa perempuan. Walau pelajaran
sudah dimulai, namun masih ada dua siswa yang terlambat masuk. Namun guru tidak
memberi hukuman apapun.
Siswa mempunyai
buku siswa yang dipinjam dari perpustakaan sekolah (pemerintah). Guru pun
memegang buku guru. Guru meminta siswa untuk membacakan teks biografi dari buku
teks ke depan kelas sebanyak dua paragraf. Setelah itu, guru menjelaskan
tentang struktur teks biografi. Sehabis guru menjelaskan, guru memberi kesempatan
siswa untuk bertanya.
Metode pelajaran
kurikulum 2013 tidak pernah jauh dari diskusi, maka cara yang diambil adalah
membagi siswa dengan kelompok-kelompok. Siswa yang berjumlah 36 orang dibagi
menjadi 6 kelompok. Ketika guru meminta siswa untuk berhitung, siswa kurang
berkonsentrasi. Sehingga butuh waktu cukup lama untuk pembagian kelompok. Guru
mempunyai handout biografi-biografi
pahlawan untuk didiskusikan oleh
masing-masing kelompok yang sudah dibagi. Perwakilan kelompok diminta ke meja
guru untuk mengambil handout yang
dipunyai guru. Tugas yang diberikan guru ketika masing-masing kelompok sudah
memegang teks biografi adalah mencari struktur teks biografi. Siswa kondusif
dalam berdiskusi.
Sambil siswa
berdiskusi mencari struktur teks biografi dalam teks, guru menyilakan kami
untuk mewawancarai beliau. Wawancara akan kami bahas di pembahasan. Waktu
diskusi selesai, guru meminta dua orang perwakilan kelompok untuk mengemukakan
hasil diskusi kelompok. Guru juga menyilakan siswa yang lain untuk bertanya. Guru
memberi kesempatan pada siswa yang kurang aktif untuk bertanya.
Waktu sudah hampir
habis, lalu guru memberitahukan tentang materi apa yang akan diberikan minggu
depan. Siswa bersiap-siap pulang, kemudian berdoa.
2.
Pembahasan
Observasi
dilaksanakan di sebuah SMP swasta di daerah Bandung, bernama SMP Pelita.
Bangunan SMP Pelita digabung dengan SMK Pelita. Ketika SMP Pelita masuk pagi,
maka SMA Pelita masuk pada siang hari. Tidak ada masalah dengan kondisi sekolah,
namun sedang ada perbaikan gedung dan ada suara-suara pembangunan, hingga
suasana sekolah sedikit tidak kondusif.
Guru sangat
memperhatikan kehadiran siswa. Hal ini terlihat ketika kami masuk ke ruang
guru, lalu ada beberapa siswa yang status kekadirannya alfa. Guru memanggil siswa-siswa tersebut, dan menceramahinya.
Bahkan sampai akan memberikan surat kepada orang tua siswa yang bersangkutan.
Pemanggilan terhadap siswa yang bermasalah ternyata dilakukan ketika siswa satu
kali tidak masuk sekolah tanpa keterangan.
Kemudian kami
diajak masuk ke dalam kelas oleh Pak Asep, salahseorang guru Bahasa Indonesia
kelas 8 di SMP Pelita. Ruangan kelas cukup sempit, hal tersebut terlihat pada
tempat duduk siswa yang jaraknya sangat dekat dengan papan tulis. Padahal
banyak bangku yang kosong. Jarak pandang yang dekat dengan papan tulis membuat
siswa yang duduk paling depan kurang merasa nyaman, karena siswa harus
mendongak ketika guru menulis di papan tulis. Guru pun sulit mobile, karena jarak meja siswa yang
sangat berdekatan dengan meja guru.
Selain kondisi
ruang kelas yang sempit, dengan bentuk tempat duduk variatif, guru berkata
bahwa fasilitas sekolah kami kurang lengkap. Kurikulum 2013 yang berbasis
teknologi tidak didukung oleh fasilitas sekolah. Memang ada fasilitas infocus yang diberikan oleh sekolah,
namun hanya satu kelas, yang diberi nama kelas Multimedia. Belum lagi, kelas
tersebut tidak hanya digunakan oleh mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, namun
semua mata pelajaran di sekolah. Sehingga kemungkinan untuk intens berada di kelas Multimedia sangat
kecil.
Siswa berjumlah 36
orang, 17 siswa laki-laki, 19 siswa perempuan. Pakaian siswa tidak serempak.
Ada yang memakai baju putih-biru, ada yang memakai batik sekolah, bahkan ada
yang memakai baju pramuka, padahal waktu itu adalah hari Kamis dan pakaian
wajibnya adalah batik. Kami bertanya pada guru bersangkutan mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Guru tersebut menyatakan bahwa kondisi sekolah kami
adalah untuk kelas sosial menengah ke bawah. Untuk membeli baju sesuai peraturan
sekolah adalah hal sulit. Selain alasan sosial, guru berkata bahwa
ekstrakurikuler wajib di sekolah adalah Pramuka, dan biasanya latihan
dilaksanakan sehabis sekolah, hingga siswa yang ikut pramuka memakai baju
pramuka sejak pelajaran sekolah di mulai pagi harinya. Hal ini berhubungan
dengan siswa yang tidak mampu membeli baju batik sekolah. Daripada memakai baju
putih-abu (yang jelas-jelas bukan baju yang diwajibkan pada hari Kamis), lebih
baik sekalian saja memakai baju pramuka karena sepulang sekolah mereka akan
melaksanakan latihan Pramuka. Hal tersebut berkebalikkan dengan penerapan
kedisiplinan terhadap waktu.
Siswa yang aktif
dalam menjawab pertanyaan kebanyakan adalah siswa perempuan. Sehingga pada
beberapa kesempatan guru menunjuk siswa laki-laki untuk menjawab pertanyaan.
Hal tersebut dilakukan agar semua siswa aktif dan memahami apa yang sedang
dipelajari. Selain dengan metode menjawab pertanyaan, upaya agar siswa menjadi
aktif adalah dengan meminta siswa ke depan kelas untuk membacakan teks.
Ketika kami
mewawancarai seorang siswa, ia menyatakan cukup senang dengan pelajaran Bahasa
Indonesia. Namun ada materi yang tidak disenangi, yakni materi pembelajaran
menyangkut keterampilan bahasa menyimak. Ia sangat menyenangi materi praktik,
seperti apresiasi drama yang dilakukan minggu-minggu lalu. Dengan materi
apresiasi drama, ia dapat bermain peran, menunjukkan ekspresinya dalam
pembelajaran, dan banyak hal yang dapat
dimaknai dalam pembelajaran apresiasi drama.
Penerapan metode
diskusi adalah peran utama dalam kurikulum 2013. Hampir di setiap penyampaian
materi, guru selalu membagi kelompok. Ketika kami bertanya mengapa selalu ada
pembagian kelompok, guru berkata bahwa pembagian kelompok adalah satu-satunya
metode paling tepat dan bersesuaian dengan kurikulum 2013 yang menuntut siswa
untuk lebih aktif. Dengan pembagian kelompok pula siswa dapat bersosialisasi
dengan teman-teman kelas, dan dapat terlihat juga sifat-sifat siswa berkenaan
dengan komunikasi dengan teman-teman satu kelompok.
Namun kami rasa
pembagian kelompok di setiap penyampaian materi adalah pola yang membosankan.
Seakan tidak ada metode lain selain pembagian kelompok. Dengan pembagian
kelompok pula kemampuan individu siswa tidak akan terlihat oleh guru, walau
guru yang bersangkutan berkata bahwa kemampuan individu siswa dapat terlihat
dari proses pembelajaran di dalam kelas, atau dengan pekerjaan rumah yang
diberikan guru terhadap masing-masing siswa.
3.
Saran
Pemerintah selalu
ingin menyeragamkan pendidikan di setiap pelosok daerah Nusantara, namun banyak
hal yang terlupakan. Pendidikan tidak melulu mengenai materi pembelajaran yang
seragam, namun juga hal-hal lain seperti kondisi lingkungan, sosial, dan budaya
masyarakat Nusantara.
Kurikulum 2013 yang
modern, yang menuntut siswa untuk dapat berteman dengan teknologi mutakhir ini
tidak dibarengi dengan fasilitas sekolah yang memadai. Contohnya yang terjadi
pada SMP Pelita Bandung yang hanya memiliki satu kelas Multimedia. Padahal
banyak mata pelajaran yang mengantre untuk dapat melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik menggunanakan fasilitas kelas Multimedia.
Baiknya keseragaman
materi pembelajaran juga dibarengi dengan fasilitas yang disediakan. Materi
pembelajaran tanpa fasilitas yang mendukung, tidak akan berjalan dengan
maksimal. Atau cara lain agar siswa tetap dapat terfasilitasi adalah guru harus
aktif mencari metode pembelajaran lain untuk menutupi fasilitas yang kurang.
Misalnya ketika ada materi mengenai drama, dan guru harus memperlihatkan contoh
pentas drama kepada siswa, maka cara lain menayangkan video di ruang Multimedia
adalah dengan mengajak siswa ke tempat pementasan secara langsung. Apalagi
ketika kita melihat kondisi geografis SMP Pelita yang ada di Bandung. Bandung
memiliki banyak komunitas yang sering mementaskan drama. Walau jarang sekali
ada gedung pementasan yang memadai. Metode tersebut dapat membuat siswa lebih
mengenal apa itu drama, dan dapat merasakan pementasan drama yang sebenarnya. Hal
itu lebih efektif daripada hanya menonton pementasan drama di ruang Multimedia.
Namun, metode tersebut terhalang waktu. Jam mengajar guru yang bersangkutan
adalah 30 jam untuk SMP Pelita kelas 8 A hingga 8 E, Senin sampai Jum’at. Belum
lagi beliau harus mengajar di bimbingan belajar. Siswa juga diwajibkan
mengikuti ekstrakurikuler. Waktu latihannya yaitu ketika sepulang sekolah Senin
sampai Jum’at dan hari Sabtu.
Memang kurikulum
2013 menganggap baik bahwa pembagian kelompok adalah cara ideal bagi metode
diskusi, namun pembagian kelompok di tiap pertemuan adalah pola yang
membosankan. Untuk beberapa materi seperti materi apresiasi drama yang
mengupayakan agar siswa dapat mementaskan drama perkelompok, pembagian kelompok
adalah hal yang relevan. Namun ketika ada materi membuat teks observasi, dan
harus dilakukan perkelompok, dikhawatirkan hanya beberapa siswa yang paham, dan
siswa lainnya tidak paham karena tidak berdiskusi. Kemungkinan besar guru tidak
melihat siswa yang tidak berdiskusi karena yang dilihat adalah penampilan
kelompok, bukan individu. Baiknya porsi pembelajaran pembagian kelompok dengan
yang lainnya harus seimbang. Agar potensi individu siswa dapat terlihat oleh
guru.
No comments:
Post a Comment