Sunday, May 3, 2015

LAPORAN HASIL OBSERVASI PEMBELAJARAN MENULIS SMP PELITA BANDUNG

1.      Deskripsi Hasil Observasi
Observasi dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2014 di SMP Pelita Bandung kelas 8 A. Kelas di mulai pada jam 08.20 WIB dengan materi “ Teks Biografi”. Sebelum pemberian materi, guru menyilakan siswa untuk berdoa. Lalu, agar siswa tidak lupa dengan materi sebelumnya, guru mengulas kembali materi minggu lalu, yakni Teks Fabel.
Pengulasan selesai, kemudian guru masuk kepada materi yang akan disampaikan hari ini, yakni “Teks Biografi”. Sesuai dengan kurikulum 2013 yang menuntut keaktifan dan kekreatifan siswa, sebelum guru memberi materi, guru memberikan pertanyaan mengenai Teks Biografi. Guru memberi kesempatan pada siswa laki-laki untuk aktif menjawab pertanyaan, sebab sejak awal kebanyakan yang aktif adalah siswa perempuan. Walau pelajaran sudah dimulai, namun masih ada dua siswa yang terlambat masuk. Namun guru tidak memberi hukuman apapun.
Siswa mempunyai buku siswa yang dipinjam dari perpustakaan sekolah (pemerintah). Guru pun memegang buku guru. Guru meminta siswa untuk membacakan teks biografi dari buku teks ke depan kelas sebanyak dua paragraf. Setelah itu, guru menjelaskan tentang struktur teks biografi. Sehabis guru menjelaskan, guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya.
Metode pelajaran kurikulum 2013 tidak pernah jauh dari diskusi, maka cara yang diambil adalah membagi siswa dengan kelompok-kelompok. Siswa yang berjumlah 36 orang dibagi menjadi 6 kelompok. Ketika guru meminta siswa untuk berhitung, siswa kurang berkonsentrasi. Sehingga butuh waktu cukup lama untuk pembagian kelompok. Guru mempunyai handout biografi-biografi pahlawan  untuk didiskusikan oleh masing-masing kelompok yang sudah dibagi. Perwakilan kelompok diminta ke meja guru untuk mengambil handout yang dipunyai guru. Tugas yang diberikan guru ketika masing-masing kelompok sudah memegang teks biografi adalah mencari struktur teks biografi. Siswa kondusif dalam berdiskusi.
Sambil siswa berdiskusi mencari struktur teks biografi dalam teks, guru menyilakan kami untuk mewawancarai beliau. Wawancara akan kami bahas di pembahasan. Waktu diskusi selesai, guru meminta dua orang perwakilan kelompok untuk mengemukakan hasil diskusi kelompok. Guru juga menyilakan siswa yang lain untuk bertanya. Guru memberi kesempatan pada siswa yang kurang aktif untuk bertanya.
Waktu sudah hampir habis, lalu guru memberitahukan tentang materi apa yang akan diberikan minggu depan. Siswa bersiap-siap pulang, kemudian berdoa. 
2.      Pembahasan
Observasi dilaksanakan di sebuah SMP swasta di daerah Bandung, bernama SMP Pelita. Bangunan SMP Pelita digabung dengan SMK Pelita. Ketika SMP Pelita masuk pagi, maka SMA Pelita masuk pada siang hari. Tidak ada masalah dengan kondisi sekolah, namun sedang ada perbaikan gedung dan ada suara-suara pembangunan, hingga suasana sekolah sedikit tidak kondusif.
Guru sangat memperhatikan kehadiran siswa. Hal ini terlihat ketika kami masuk ke ruang guru, lalu ada beberapa siswa yang status kekadirannya alfa. Guru memanggil siswa-siswa tersebut, dan menceramahinya. Bahkan sampai akan memberikan surat kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Pemanggilan terhadap siswa yang bermasalah ternyata dilakukan ketika siswa satu kali tidak masuk sekolah tanpa keterangan.
Kemudian kami diajak masuk ke dalam kelas oleh Pak Asep, salahseorang guru Bahasa Indonesia kelas 8 di SMP Pelita. Ruangan kelas cukup sempit, hal tersebut terlihat pada tempat duduk siswa yang jaraknya sangat dekat dengan papan tulis. Padahal banyak bangku yang kosong. Jarak pandang yang dekat dengan papan tulis membuat siswa yang duduk paling depan kurang merasa nyaman, karena siswa harus mendongak ketika guru menulis di papan tulis. Guru pun sulit mobile, karena jarak meja siswa yang sangat berdekatan dengan meja guru.
Selain kondisi ruang kelas yang sempit, dengan bentuk tempat duduk variatif, guru berkata bahwa fasilitas sekolah kami kurang lengkap. Kurikulum 2013 yang berbasis teknologi tidak didukung oleh fasilitas sekolah. Memang ada fasilitas infocus yang diberikan oleh sekolah, namun hanya satu kelas, yang diberi nama kelas Multimedia. Belum lagi, kelas tersebut tidak hanya digunakan oleh mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, namun semua mata pelajaran di sekolah. Sehingga kemungkinan untuk intens berada di kelas Multimedia sangat kecil.
Siswa berjumlah 36 orang, 17 siswa laki-laki, 19 siswa perempuan. Pakaian siswa tidak serempak. Ada yang memakai baju putih-biru, ada yang memakai batik sekolah, bahkan ada yang memakai baju pramuka, padahal waktu itu adalah hari Kamis dan pakaian wajibnya adalah batik. Kami bertanya pada guru bersangkutan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Guru tersebut menyatakan bahwa kondisi sekolah kami adalah untuk kelas sosial menengah ke bawah. Untuk membeli baju sesuai peraturan sekolah adalah hal sulit. Selain alasan sosial, guru berkata bahwa ekstrakurikuler wajib di sekolah adalah Pramuka, dan biasanya latihan dilaksanakan sehabis sekolah, hingga siswa yang ikut pramuka memakai baju pramuka sejak pelajaran sekolah di mulai pagi harinya. Hal ini berhubungan dengan siswa yang tidak mampu membeli baju batik sekolah. Daripada memakai baju putih-abu (yang jelas-jelas bukan baju yang diwajibkan pada hari Kamis), lebih baik sekalian saja memakai baju pramuka karena sepulang sekolah mereka akan melaksanakan latihan Pramuka. Hal tersebut berkebalikkan dengan penerapan kedisiplinan terhadap waktu.
Siswa yang aktif dalam menjawab pertanyaan kebanyakan adalah siswa perempuan. Sehingga pada beberapa kesempatan guru menunjuk siswa laki-laki untuk menjawab pertanyaan. Hal tersebut dilakukan agar semua siswa aktif dan memahami apa yang sedang dipelajari. Selain dengan metode menjawab pertanyaan, upaya agar siswa menjadi aktif adalah dengan meminta siswa ke depan kelas untuk membacakan teks.
Ketika kami mewawancarai seorang siswa, ia menyatakan cukup senang dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Namun ada materi yang tidak disenangi, yakni materi pembelajaran menyangkut keterampilan bahasa menyimak. Ia sangat menyenangi materi praktik, seperti apresiasi drama yang dilakukan minggu-minggu lalu. Dengan materi apresiasi drama, ia dapat bermain peran, menunjukkan ekspresinya dalam pembelajaran, dan  banyak hal yang dapat dimaknai dalam pembelajaran apresiasi drama.
Penerapan metode diskusi adalah peran utama dalam kurikulum 2013. Hampir di setiap penyampaian materi, guru selalu membagi kelompok. Ketika kami bertanya mengapa selalu ada pembagian kelompok, guru berkata bahwa pembagian kelompok adalah satu-satunya metode paling tepat dan bersesuaian dengan kurikulum 2013 yang menuntut siswa untuk lebih aktif. Dengan pembagian kelompok pula siswa dapat bersosialisasi dengan teman-teman kelas, dan dapat terlihat juga sifat-sifat siswa berkenaan dengan komunikasi dengan teman-teman satu kelompok.
Namun kami rasa pembagian kelompok di setiap penyampaian materi adalah pola yang membosankan. Seakan tidak ada metode lain selain pembagian kelompok. Dengan pembagian kelompok pula kemampuan individu siswa tidak akan terlihat oleh guru, walau guru yang bersangkutan berkata bahwa kemampuan individu siswa dapat terlihat dari proses pembelajaran di dalam kelas, atau dengan pekerjaan rumah yang diberikan guru terhadap masing-masing siswa.
3.      Saran
Pemerintah selalu ingin menyeragamkan pendidikan di setiap pelosok daerah Nusantara, namun banyak hal yang terlupakan. Pendidikan tidak melulu mengenai materi pembelajaran yang seragam, namun juga hal-hal lain seperti kondisi lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat Nusantara.
Kurikulum 2013 yang modern, yang menuntut siswa untuk dapat berteman dengan teknologi mutakhir ini tidak dibarengi dengan fasilitas sekolah yang memadai. Contohnya yang terjadi pada SMP Pelita Bandung yang hanya memiliki satu kelas Multimedia. Padahal banyak mata pelajaran yang mengantre untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan baik menggunanakan fasilitas kelas Multimedia.
Baiknya keseragaman materi pembelajaran juga dibarengi dengan fasilitas yang disediakan. Materi pembelajaran tanpa fasilitas yang mendukung, tidak akan berjalan dengan maksimal. Atau cara lain agar siswa tetap dapat terfasilitasi adalah guru harus aktif mencari metode pembelajaran lain untuk menutupi fasilitas yang kurang. Misalnya ketika ada materi mengenai drama, dan guru harus memperlihatkan contoh pentas drama kepada siswa, maka cara lain menayangkan video di ruang Multimedia adalah dengan mengajak siswa ke tempat pementasan secara langsung. Apalagi ketika kita melihat kondisi geografis SMP Pelita yang ada di Bandung. Bandung memiliki banyak komunitas yang sering mementaskan drama. Walau jarang sekali ada gedung pementasan yang memadai. Metode tersebut dapat membuat siswa lebih mengenal apa itu drama, dan dapat merasakan pementasan drama yang sebenarnya. Hal itu lebih efektif daripada hanya menonton pementasan drama di ruang Multimedia. Namun, metode tersebut terhalang waktu. Jam mengajar guru yang bersangkutan adalah 30 jam untuk SMP Pelita kelas 8 A hingga 8 E, Senin sampai Jum’at. Belum lagi beliau harus mengajar di bimbingan belajar. Siswa juga diwajibkan mengikuti ekstrakurikuler. Waktu latihannya yaitu ketika sepulang sekolah Senin sampai Jum’at dan hari Sabtu.

Memang kurikulum 2013 menganggap baik bahwa pembagian kelompok adalah cara ideal bagi metode diskusi, namun pembagian kelompok di tiap pertemuan adalah pola yang membosankan. Untuk beberapa materi seperti materi apresiasi drama yang mengupayakan agar siswa dapat mementaskan drama perkelompok, pembagian kelompok adalah hal yang relevan. Namun ketika ada materi membuat teks observasi, dan harus dilakukan perkelompok, dikhawatirkan hanya beberapa siswa yang paham, dan siswa lainnya tidak paham karena tidak berdiskusi. Kemungkinan besar guru tidak melihat siswa yang tidak berdiskusi karena yang dilihat adalah penampilan kelompok, bukan individu. Baiknya porsi pembelajaran pembagian kelompok dengan yang lainnya harus seimbang. Agar potensi individu siswa dapat terlihat oleh guru.

No comments:

Post a Comment